Kali ini, udara musim gugur benar-benar terasa. Angin
berhembus kencang membawa dedaunan pergi meninggalkan rantingnya. Tapi, suasana
seperti ini tidak menjadi alasan orang-orang untuk menolak menyaksikan sebuah
pemotretan di taman ini. Aku dan Seung Ho sedang berjalan-jalan di taman kota
ini, seketika kami dibuat penasaran oleh kerumunan orang di sudut taman, di
dekat sebuah kolam ikan. Dan setelah aku bertanya, ternyata itu pemotretan
sebuah iklan pariwisata Seoul. Sudah tidak asing. “nunnan, apa tidak sebaiknya
kita mencoba stik ikan bakar itu?” usul Seung Ho sambil menunjuk sebuah gerobak
berkaki empat “kau mau mencobanya?” tanyaku sambil melambatkan langkah “ya”
jawabnya sambil mengangguk “baiklah, kita akan mencobanya” tambahku lalu
mendekati gerobak itu, Seung Ho membuntutiku dari belakang. Ini kali keduanya
kami bisa berjalan-jalan bersama, sebelumnya aku disibukkan oleh tugas
kuliahku, dan kini aku tenggelam sendiri dalam sibuknya pekerjaan, menyebabkan
aku dan Seung Ho jarang sekali menikmati waktu santai bersama. Tapi kini aku
menyempatkan diri karena kesalahanku kemarin: melupakan kunci rumahku, yakni
membelikan Seung Ho oleh-oleh. “ahjumma (bibi), saya pesan dua stik ikan,
boleh?” ucapku pada bibi pelayan yang sibuk menusuk-nusuk stik ikan panjang
dengan kayu ramping yang pastinya lebih panjang “keurae..” jawab bibi itu
sambil tersenyum padaku, dengan sigap ia langsung mengambil dua batang stik
ikan lalu meletakannya diatas pemanggang. Beberapa detik kemudian, api mulai
menyalat-nyalat ke atas dan melahap dua stik ikan tadi sehingga menimbulkan
asap. Berkali-kali aku terbatuk walaupun sering kukibaskan sebelah tanganku
bermaksud menghindari asap tersebut. Kulihat Seung Ho juga begitu. Tapi kiranya
usahaku sia-sia, tetap saja asap itu menggangguku sekalipun aku memohon. Jadi,
kuputuskanlah untuk menghindar setelah benar-benar tidak sanggup dikerumuni
asap yang mengebul-ngebul itu. Kutarik lengan Seung Ho yang sedang menutup
mulutnya, aku berpindah kira-kira satu setengah
meter dari tempat tadi. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega “hampir saja
aku mati” celetuk Seung Ho asal-asalan “bicara yang benar,bodoh” anggapku
dengan nada menyindir, Seung Ho menoleh ke arahku sejenak lalu kembali membuang
muka. Aku memperhatikan bibi penjual stik tadi dari kejauhan, ia biasa saja,
tidak terbatuk-batuk, tidak mengibas-ngibaskan tangannya, juga tidak berkata
“hampir saja aku mati’’ layaknya Seung Ho tadi. Aku berdecak dalam hati.
“nona muda,
ini pesanan anda” sahut bibi penjual stik dengan ramah, aku menyunggingkan
seulas senyumku seraya mendekati gerobaknya, Seung Ho tetap bergeming. Bibi itu
menyerahkan dua stik itu padaku, lalu kutukar dengan dua lembar uang 1000 won
padanya “gomawo” ucapnya, aku mengangguk dan tersenyum kembali.
***
“Kau yakin
ingin melihatnya?” aku menoleh pada Seung Ho yang sedang asyik melahap stik
ikan bakarnya dengan semangat, ia menghentikan gerakan mengunyahnya lalu
berbalik menoleh padaku ‘’ayolah nunnan.. semua orang berkerumun disana dan aku
tidak ingin ketinggalan” jawabnya dengan nada memohon, aku mengalihkan
pandangan dan menerawang kedepan, Seung Ho membiarkan aku berpikir.
Iya…tidak…iya…tidak…iya… “ayolah nunnan..” Seung Ho kembali mendesak “baiklah,
ayo” jawabku sambil bangkit dari bangku yang sejak tadi kami duduki, Seung Ho
menyeringai dan ikut bangkit “kau benar-benar ingin melihatnya?”tanyaku sekali
lagi “tentu saja” jawabnya tegas “ayo” ajakku dan mulai berjalan mendekati
kerumunan orang tadi.
“astaga..
ramai sekali” celetuk Seung Ho “tadi kau bilang ingin melihatnya..” komentarku
bermaksud memojokkannya “memang, aku hanya ingin mengekspresikan kekagumanku”
bisa saja ia beralasan, aku tahu, pasti ia tidak ingin ketinggalan berita
dengan teman-temannya.
Kerumunan
orang ini membuat telingaku bising. Salah satu kru pemotretan kalang kabut
untuk menetralkan keadaan, tapi tetap saja suasana gaduh. Aku mengikuti langkah
Seung Ho yang sedang mencari celah kosong agar kami bisa melihat keseluruhan
pemotretan. Beberapa lama kemudian, sebuah celah mengizinkan kami, kami
langsung menutup celah. Modelnya seorang pria dan wanita rupanya, wajah mereka
sudah tidak asing lagi sepertinya, lihat saja, para penonton berteriak
kegirangan memanggil nama dua model tersebut. Maksudku, sepertinya kedua model
tersebut terkenal, mungkin. Aku sendiri samasekali tidak tertarik pada
kehidupan entertainment, jadi.. aku tidak peduli.
“Perfect!”
seru seorang kru yang sejak tadi berkuasa dengan didahului cahaya blitz
terakhir dari lensa kamera. Riuh tepuk tangan menyusul, akupun ikut-ikutan.
Kedua model tadi terlihat puas sekali, mereka ber-high five dengan dua tangan
dan senyuman cerah “pemotretan akhir ya..” celetuk Seung Ho, terdengar nada kecewa darinya. Aku
menoleh tanpa memberi komentar “kita terlambat, nunnan..” sesalnya tanpa menoleh
padaku “bersyukurlah kau masih bisa melihatnya” tanggapku, Seung Ho menoleh dan
hendak mengatakan sesuatu “walaupun terlambat” tambahku mendahuluinya, ia
menutup mulutnya kembali. Akupun kembali menatap kedepan.
***
Aku
mematikan lampu kamarku. Sejenak kemudian, bintang-bintang di langit-langit
kamarku menyala dengan sendirinya. Segera kurebahkan tubuhku pada tempat tidur
ber-cover pink muda dengan corak polkadot. Keadaan sudah sunyi senyap, sekarang
jam 11.30 PM. Aku sedang tidak berpikir apapun dan malas untuk berpikir
apa-apa. Kucoba memejamkan mataku untuk beberapa menit, siapa tahu nantinya aku
akan tertidur. Dalam pejaman mataku, aku berharap saat aku membuka mataku
nanti, aku akan melihat seberkas cahaya matahari masuk melalui jendela kamarku.
Namun, sepertinya itu hanya anganku. Buktinya, saat kubuka mata, aku masih
melihat bintang-bintang kamarku yang menyala. Dan kamarku masih dalam keadaan
gelap. Kucoba lagi menutup mataku. Satu menit…dua menit…tiga menit… ya ampun,
aku masih sadar. Kubuka kembali mataku, aku duduk dan merogoh ke dalam tas yang
ada di sebelah tempat tidur. Sebuah buku atau lebih tepatnya novel kukeluarkan
dari tas tersebut. Kubaca novel tersebut sambil berbaring dengan penerangan
lampu tidur kecil yang digantung di dinding belakangku. Aku tahu ini berbahaya,
tapi lebih berbahaya lagi jikalau sampai pagi nanti aku tidak bisa tidur.
Aku
tenggelam dalam kisah Harry, Hermione dan Ron. Ya, aku sedang membaca sebuah
novel Harry Potter berbahasa inggris. Sebelum itu, aku memang kuliah di fakultas
bahasa inggris, jadi bisa dibilang aku lumayan lancar berbahasa inggris. Jika
eomma (ibu) merantau ke China, aku akan merantau ke Inggris suatu hari nanti.
Itulah kalimat yang terbesit di otakku saat memutuskan untuk kuliah di fakultas
bahasa inggris. Padahal bibi Sae Eun menginginkan agar aku masuk fakultas seni,
lebih khususnya modeling, karena profesi bibi memang seorang asisten dari
seorang model yang entah aku tidak tahu namanya. Aku tidak tahu sebesar apa
kekuatan dari kalimat “jika eomma merantau ke China, aku akan merantau ke
Inggris suatu hari nanti” sehingga membuatku menentang keinginan bibi. Aku
terlalu terobsesi pada Harry Potter, kurasa.
Aku
mengerjapkan mataku beberapa kali untuk mengosongkan pikiran. Selama beberapa
menit aku memegang buku, aku tidak membacanya, melainkan melamun. Kuteliti
kembali setiap baris pada novel Harry
Potter 4 : Harry Potter And The Goblet Of Fire untuk mencari sampai mana aku
membaca tadi. Setelah kutemukan, segera aku melanjutkan bacaanku itu.
Selang
beberapa waktu, aku mulai sadar bahwa cukup lama aku membaca buku. Kupikir,
setelah membaca buku, aku akan mengantuk. Tapi nyatanya aku malah lebih peka
dari sebelumnya. Astaga.
Karena
khawatir, kuraihlah jam tangan di meja lampu sebelah tempat tidur. Ya Tuhan, aku
tidak ingin menyebutkan sekarang jam berapa. Segera kututup novel Harry Potter
yang tebal itu dan kuletakkan disisiku. Kucoba lagi untuk menutup mata. Namun,
sama halnya, aku tetap sadar. Lama-lama aku lelah dan… Kesal mungkin. Kucoba
lagi beberapa kali tapi hasilnya nihil. Kau tahu sekarang jam berapa? Jam 02.40
AM.
***
Kulangkahkan
kaki kananku memasuki ruang makan yang bisa juga disebut dapur. Aku
mengusap-usap rambut sebahuku yang basah dengan handuk sambil melangkah. Kubuka
pintu kamarku dan memasuki ruangan itu. Saat kututup pintu, kutemukan bayangan
diriku di atas cermin, cermin ada dibalik pintu. Aku memerhatikan setiap lekuk
wajahku. Aku terbelalak melihat mataku yang merah, kantung mataku juga besar.
Sepertinya wajahku lebih mirip monster kali ini. Ya Tuhan, aku tidak siap untuk
keluar rumah har ini. Semalaman aku samasekali tidak tidur, atau lebih tepatnya
tidak bisa tidur. Insomniakah? Aku tidak mengerti.
Tiba-tiba
suara ketukan pintu menyebabkan cermin di depanku bergetar “nunnan!” teriak Seung
Ho disana, itu suara Seung Ho “ada apa?!” balasku tak kalah kencangnya “aku
pergi sekolah sekarang” Seung Ho merendahkan suaranya “eo..(ya)” tanggapku,
lalu disusul suara derapan kaki di luar sana. Itu tandanya Seung Ho sudah
beranjak.
Aku kembali
memfokuskan mataku kearah cermin. Keadaan mataku tidak berubah samasekali. Aku
mengerjapkan mataku berkali-kali, berharap ini halusinasi. Tetap saja, tidak
berubah samasekali. Mengetahui itu, kuhembuskan nafas panjang tanda pasrah. Ini
resiko, pikirku. Aku membalikkan badan, kutelaah setiap sudut kamarku.
Pandangan mataku memusat pada sebuah handphone putih di atas meja lampu di
samping tempat tidur. Sepertinya aku harus menelpon Ha Young. Maka, segera
kuraih handphoneku itu dan menelpon Ha Young “yeoboseyo” suara Ha Young
terdengar jauh “Ha Young-ah, kau dimana?” tanyaku, sepertinya disana sangat
ramai “aku di restoran, Hye Ri” jawabnya dengan suara yang lebih terdengar
jelas dari sebelumnya “di restoran? Memangnya jam be…” “kau tidak kemari?”
belum selesai aku bicara, Ha Young sudah menyela “kau dulu” ujar Ha Young
mengalah “kau sudah di restoran?” tanyaku sambil melirik jam alarm yang ada di
atas meja, aku terperangah mengetahui sekarang jam 08.30 AM, biasanya aku sudah
stand by di restoran “ya, disini sudah ramai, kami sedang mempersiapkan
perayaan restoran yang ke-20. Kau bisa mendengar ocehan kami bukan?” tanyanya
memastikanku, astaga, satu lagi yang kulupakan, hari ini perayaan restoran,
kacaulah semuanya “kau tidak kemari?” tuntutnya dengan suara lembut “Ha
Young-ah, kau tahu apa yang terjadi padaku?”aku membiarkan Ha Young menebak
“tidak. Apa yang terjadi padamu?’’ ia balik bertanya “aku tidak bisa tidur
semalaman” keluhku, Ha Young terkesiap “bagaimana bisa?” nada suaranya
terdengar cemas “entahlah, padahal aku sudah mencoba memejamkan amata
berkali-kali, bahkan aku membaca buku agar nantinya mengantuk, tapi bukannya
mengantuk, aku malah lebih peka” jelasku secara rinci “lalu?” Tanyanya
penasaran “akhirnya aku terjaga sepanjang malam. Dan aku tidak melakukan
apapun” Ha Young mendesah pelan “perlu kau tahu lagi. Sekarang mataku merah dan
kantung mataku besar, aku rasa aku lebih mirip monster ketimbang gadis muda.
Aku yakin kau sependapat denganku agar tidak keluar rumah jika kau menggantikan
posisiku” ujarku panjang lebar “Hye Ri-ah, sepertinya kau harus konsultasi ke
dokter” sarannya, aku berpikir sejenak “biarkan aku yang menyampaikan izinmu
pada Mr.Choi” lanjutnya, aku tersenyum kecil “kau benar, baiklah aku akan
pergi” jawabku mengakhiri telepon. Kuletakkan handphone ku kembali di atas
meja.
***
“apa
keluhanmu nona muda?” Tanya dokter berusia limapuluhan yang duduk di hadapanku.
Aku melirik sebuah pin di bajunya, ooh.. namanya Kim So Yin. Aku sedang berada
di ruangannya di sebuah rumah sakit pusat Incheon. Dan aku memakai kacamata
hitam untuk menutup mata bengkak ini. Dokter itu berdeham, aku menyadarkan
diriku “maaf nyonya, saya.. melamun” ujarku mengakui, dokter Kim tertawa kecil,
aku jadi malu dibuatnya. “baiklah, perlu kutahu. Siapa namamu?” tanyanya dengan
suara yang bersahabat “Kang-Hye-Ri” jawabku dengan ejaan, Dokter Kim menulis di
selembar kertas note “apa yang terjadi padamu?” tanyanya lagi, aku menghela
nafas sejenak, ia menatapku, menanti jawabanku “baiklah..” gumamku sambil
membuka kacamata hitam yang sejak tadi kukenakan, kuturunkan kacamata itu dari
wajahku “astaga..” gumam Dokter Kim pelan “jelaskan padaku apa yang terjadi
padamu?” Tanyanya dengan suara bijak, kutundukkan kepalaku “aku tidak dapat
tidur semalaman kemarin, aku terjaga sepanjang malam tanpa melakukan apapun”
jawabku masih tertunduk “apa hal itu sering terjadi padamu?” tanyanya lagi, aku
menggeleng lambat “sebelumnya.. aku tidak pernah sampai separah ini” ujarku
memulai “sebelumnya.. aku sering tidur hanya dua jam atau tiga jam” tambahku.
Kuberanikan diriku menatap kedua mata Dokter Kim yang sayu “sebenarnya, hal itu
tidak akan menyebabkan hal separah matamu itu.. tapi sepertinya kau kelelahan
hari itu. Hal seperti ini memang sering terjadi pada wanita, apalagi jika
wanita itu super sibuk” jelas Dokter Kim dengan segala pengetahuannya, aku
membenarkan dalam hati “bisa kuperiksa matamu?” tawarnya sambil bangkit dari
kursi besarnya “tidak masalah” jawabku ringan, ia mendekat lalu duduk di kursi
sebelahku, aku memutar kursiku 90 derajat agar dapat berhadapan dengannya. Ia
mengeluarkan sebuah senter kecil dari jas putihnya, kemudian, aku menyipitkan
mataku yang bertemu dengan sorotan sinar senter tersebut. Dokter Kim menekan
pelipisku dan menyorotkan senter tadi pada mataku. Aku hanya diam.
Dokter Kim
memasukkan kembali senter tadi ke dalam jasnya dan kembali duduk di kursi
pribadinya. Akupun kembali ke posisiku semula. “sepertinya kau insomnia”
ujarnya sambil menatapku lekat. Aku terpaku, melihat ekspresi tegangku, ia
tertawa, atau hanya menyeringai “insomnia memang sering terjadi pada wanita.
Jangan takut.. itu tidak seburuk seperti kedengarannya” hiburnya dengan suara
lembut, aku memaksakan seulas senyum “kau hanya perlu minum obat tidur setiap
sebelum tidur, dan kau akan bisa tidur tenang” lanjutnya. Tiba-tiba terdengar
suara pintu diketuk.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar