Selasa, 07 Agustus 2012

IF YOU ASK ME THE LOVE (chapter 4)


Kali ini, udara musim gugur benar-benar terasa. Angin berhembus kencang membawa dedaunan pergi meninggalkan rantingnya. Tapi, suasana seperti ini tidak menjadi alasan orang-orang untuk menolak menyaksikan sebuah pemotretan di taman ini. Aku dan Seung Ho sedang berjalan-jalan di taman kota ini, seketika kami dibuat penasaran oleh kerumunan orang di sudut taman, di dekat sebuah kolam ikan. Dan setelah aku bertanya, ternyata itu pemotretan sebuah iklan pariwisata Seoul. Sudah tidak asing. “nunnan, apa tidak sebaiknya kita mencoba stik ikan bakar itu?” usul Seung Ho sambil menunjuk sebuah gerobak berkaki empat “kau mau mencobanya?” tanyaku sambil melambatkan langkah “ya” jawabnya sambil mengangguk “baiklah, kita akan mencobanya” tambahku lalu mendekati gerobak itu, Seung Ho membuntutiku dari belakang. Ini kali keduanya kami bisa berjalan-jalan bersama, sebelumnya aku disibukkan oleh tugas kuliahku, dan kini aku tenggelam sendiri dalam sibuknya pekerjaan, menyebabkan aku dan Seung Ho jarang sekali menikmati waktu santai bersama. Tapi kini aku menyempatkan diri karena kesalahanku kemarin: melupakan kunci rumahku, yakni membelikan Seung Ho oleh-oleh. “ahjumma (bibi), saya pesan dua stik ikan, boleh?” ucapku pada bibi pelayan yang sibuk menusuk-nusuk stik ikan panjang dengan kayu ramping yang pastinya lebih panjang “keurae..” jawab bibi itu sambil tersenyum padaku, dengan sigap ia langsung mengambil dua batang stik ikan lalu meletakannya diatas pemanggang. Beberapa detik kemudian, api mulai menyalat-nyalat ke atas dan melahap dua stik ikan tadi sehingga menimbulkan asap. Berkali-kali aku terbatuk walaupun sering kukibaskan sebelah tanganku bermaksud menghindari asap tersebut. Kulihat Seung Ho juga begitu. Tapi kiranya usahaku sia-sia, tetap saja asap itu menggangguku sekalipun aku memohon. Jadi, kuputuskanlah untuk menghindar setelah benar-benar tidak sanggup dikerumuni asap yang mengebul-ngebul itu. Kutarik lengan Seung Ho yang sedang menutup mulutnya, aku berpindah kira-kira satu setengah  meter dari tempat tadi. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega “hampir saja aku mati” celetuk Seung Ho asal-asalan “bicara yang benar,bodoh” anggapku dengan nada menyindir, Seung Ho menoleh ke arahku sejenak lalu kembali membuang muka. Aku memperhatikan bibi penjual stik tadi dari kejauhan, ia biasa saja, tidak terbatuk-batuk, tidak mengibas-ngibaskan tangannya, juga tidak berkata “hampir saja aku mati’’ layaknya Seung Ho tadi. Aku berdecak dalam hati.
“nona muda, ini pesanan anda” sahut bibi penjual stik dengan ramah, aku menyunggingkan seulas senyumku seraya mendekati gerobaknya, Seung Ho tetap bergeming. Bibi itu menyerahkan dua stik itu padaku, lalu kutukar dengan dua lembar uang 1000 won padanya “gomawo” ucapnya, aku mengangguk dan tersenyum kembali.
***
“Kau yakin ingin melihatnya?” aku menoleh pada Seung Ho yang sedang asyik melahap stik ikan bakarnya dengan semangat, ia menghentikan gerakan mengunyahnya lalu berbalik menoleh padaku ‘’ayolah nunnan.. semua orang berkerumun disana dan aku tidak ingin ketinggalan” jawabnya dengan nada memohon, aku mengalihkan pandangan dan menerawang kedepan, Seung Ho membiarkan aku berpikir. Iya…tidak…iya…tidak…iya… “ayolah nunnan..” Seung Ho kembali mendesak “baiklah, ayo” jawabku sambil bangkit dari bangku yang sejak tadi kami duduki, Seung Ho menyeringai dan ikut bangkit “kau benar-benar ingin melihatnya?”tanyaku sekali lagi “tentu saja” jawabnya tegas “ayo” ajakku dan mulai berjalan mendekati kerumunan orang tadi.
“astaga.. ramai sekali” celetuk Seung Ho “tadi kau bilang ingin melihatnya..” komentarku bermaksud memojokkannya “memang, aku hanya ingin mengekspresikan kekagumanku” bisa saja ia beralasan, aku tahu, pasti ia tidak ingin ketinggalan berita dengan teman-temannya.
Kerumunan orang ini membuat telingaku bising. Salah satu kru pemotretan kalang kabut untuk menetralkan keadaan, tapi tetap saja suasana gaduh. Aku mengikuti langkah Seung Ho yang sedang mencari celah kosong agar kami bisa melihat keseluruhan pemotretan. Beberapa lama kemudian, sebuah celah mengizinkan kami, kami langsung menutup celah. Modelnya seorang pria dan wanita rupanya, wajah mereka sudah tidak asing lagi sepertinya, lihat saja, para penonton berteriak kegirangan memanggil nama dua model tersebut. Maksudku, sepertinya kedua model tersebut terkenal, mungkin. Aku sendiri samasekali tidak tertarik pada kehidupan entertainment, jadi.. aku tidak peduli.
“Perfect!” seru seorang kru yang sejak tadi berkuasa dengan didahului cahaya blitz terakhir dari lensa kamera. Riuh tepuk tangan menyusul, akupun ikut-ikutan. Kedua model tadi terlihat puas sekali, mereka ber-high five dengan dua tangan dan senyuman cerah “pemotretan akhir ya..” celetuk  Seung Ho, terdengar nada kecewa darinya. Aku menoleh tanpa memberi komentar “kita terlambat, nunnan..” sesalnya tanpa menoleh padaku “bersyukurlah kau masih bisa melihatnya” tanggapku, Seung Ho menoleh dan hendak mengatakan sesuatu “walaupun terlambat” tambahku mendahuluinya, ia menutup mulutnya kembali. Akupun kembali menatap kedepan.
***
Aku mematikan lampu kamarku. Sejenak kemudian, bintang-bintang di langit-langit kamarku menyala dengan sendirinya. Segera kurebahkan tubuhku pada tempat tidur ber-cover pink muda dengan corak polkadot. Keadaan sudah sunyi senyap, sekarang jam 11.30 PM. Aku sedang tidak berpikir apapun dan malas untuk berpikir apa-apa. Kucoba memejamkan mataku untuk beberapa menit, siapa tahu nantinya aku akan tertidur. Dalam pejaman mataku, aku berharap saat aku membuka mataku nanti, aku akan melihat seberkas cahaya matahari masuk melalui jendela kamarku. Namun, sepertinya itu hanya anganku. Buktinya, saat kubuka mata, aku masih melihat bintang-bintang kamarku yang menyala. Dan kamarku masih dalam keadaan gelap. Kucoba lagi menutup mataku. Satu menit…dua menit…tiga menit… ya ampun, aku masih sadar. Kubuka kembali mataku, aku duduk dan merogoh ke dalam tas yang ada di sebelah tempat tidur. Sebuah buku atau lebih tepatnya novel kukeluarkan dari tas tersebut. Kubaca novel tersebut sambil berbaring dengan penerangan lampu tidur kecil yang digantung di dinding belakangku. Aku tahu ini berbahaya, tapi lebih berbahaya lagi jikalau sampai pagi nanti aku tidak bisa tidur.
Aku tenggelam dalam kisah Harry, Hermione dan Ron. Ya, aku sedang membaca sebuah novel Harry Potter berbahasa inggris. Sebelum itu, aku memang kuliah di fakultas bahasa inggris, jadi bisa dibilang aku lumayan lancar berbahasa inggris. Jika eomma (ibu) merantau ke China, aku akan merantau ke Inggris suatu hari nanti. Itulah kalimat yang terbesit di otakku saat memutuskan untuk kuliah di fakultas bahasa inggris. Padahal bibi Sae Eun menginginkan agar aku masuk fakultas seni, lebih khususnya modeling, karena profesi bibi memang seorang asisten dari seorang model yang entah aku tidak tahu namanya. Aku tidak tahu sebesar apa kekuatan dari kalimat “jika eomma merantau ke China, aku akan merantau ke Inggris suatu hari nanti” sehingga membuatku menentang keinginan bibi. Aku terlalu terobsesi pada Harry Potter, kurasa.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk mengosongkan pikiran. Selama beberapa menit aku memegang buku, aku tidak membacanya, melainkan melamun. Kuteliti kembali setiap baris pada novel Harry Potter 4 : Harry Potter And The Goblet Of Fire untuk mencari sampai mana aku membaca tadi. Setelah kutemukan, segera aku melanjutkan bacaanku itu.
Selang beberapa waktu, aku mulai sadar bahwa cukup lama aku membaca buku. Kupikir, setelah membaca buku, aku akan mengantuk. Tapi nyatanya aku malah lebih peka dari sebelumnya. Astaga.
Karena khawatir, kuraihlah jam tangan di meja lampu sebelah tempat tidur. Ya Tuhan, aku tidak ingin menyebutkan sekarang jam berapa. Segera kututup novel Harry Potter yang tebal itu dan kuletakkan disisiku. Kucoba lagi untuk menutup mata. Namun, sama halnya, aku tetap sadar. Lama-lama aku lelah dan… Kesal mungkin. Kucoba lagi beberapa kali tapi hasilnya nihil. Kau tahu sekarang jam berapa? Jam 02.40 AM.
***
Kulangkahkan kaki kananku memasuki ruang makan yang bisa juga disebut dapur. Aku mengusap-usap rambut sebahuku yang basah dengan handuk sambil melangkah. Kubuka pintu kamarku dan memasuki ruangan itu. Saat kututup pintu, kutemukan bayangan diriku di atas cermin, cermin ada dibalik pintu. Aku memerhatikan setiap lekuk wajahku. Aku terbelalak melihat mataku yang merah, kantung mataku juga besar. Sepertinya wajahku lebih mirip monster kali ini. Ya Tuhan, aku tidak siap untuk keluar rumah har ini. Semalaman aku samasekali tidak tidur, atau lebih tepatnya tidak bisa tidur. Insomniakah? Aku tidak mengerti.
Tiba-tiba suara ketukan pintu menyebabkan cermin di depanku bergetar “nunnan!” teriak Seung Ho disana, itu suara Seung Ho “ada apa?!” balasku tak kalah kencangnya “aku pergi sekolah sekarang” Seung Ho merendahkan suaranya “eo..(ya)” tanggapku, lalu disusul suara derapan kaki di luar sana. Itu tandanya Seung Ho sudah beranjak.
Aku kembali memfokuskan mataku kearah cermin. Keadaan mataku tidak berubah samasekali. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, berharap ini halusinasi. Tetap saja, tidak berubah samasekali. Mengetahui itu, kuhembuskan nafas panjang tanda pasrah. Ini resiko, pikirku. Aku membalikkan badan, kutelaah setiap sudut kamarku. Pandangan mataku memusat pada sebuah handphone putih di atas meja lampu di samping tempat tidur. Sepertinya aku harus menelpon Ha Young. Maka, segera kuraih handphoneku itu dan menelpon Ha Young “yeoboseyo” suara Ha Young terdengar jauh “Ha Young-ah, kau dimana?” tanyaku, sepertinya disana sangat ramai “aku di restoran, Hye Ri” jawabnya dengan suara yang lebih terdengar jelas dari sebelumnya “di restoran? Memangnya jam be…” “kau tidak kemari?” belum selesai aku bicara, Ha Young sudah menyela “kau dulu” ujar Ha Young mengalah “kau sudah di restoran?” tanyaku sambil melirik jam alarm yang ada di atas meja, aku terperangah mengetahui sekarang jam 08.30 AM, biasanya aku sudah stand by di restoran “ya, disini sudah ramai, kami sedang mempersiapkan perayaan restoran yang ke-20. Kau bisa mendengar ocehan kami bukan?” tanyanya memastikanku, astaga, satu lagi yang kulupakan, hari ini perayaan restoran, kacaulah semuanya “kau tidak kemari?” tuntutnya dengan suara lembut “Ha Young-ah, kau tahu apa yang terjadi padaku?”aku membiarkan Ha Young menebak “tidak. Apa yang terjadi padamu?’’ ia balik bertanya “aku tidak bisa tidur semalaman” keluhku, Ha Young terkesiap “bagaimana bisa?” nada suaranya terdengar cemas “entahlah, padahal aku sudah mencoba memejamkan amata berkali-kali, bahkan aku membaca buku agar nantinya mengantuk, tapi bukannya mengantuk, aku malah lebih peka” jelasku secara rinci “lalu?” Tanyanya penasaran “akhirnya aku terjaga sepanjang malam. Dan aku tidak melakukan apapun” Ha Young mendesah pelan “perlu kau tahu lagi. Sekarang mataku merah dan kantung mataku besar, aku rasa aku lebih mirip monster ketimbang gadis muda. Aku yakin kau sependapat denganku agar tidak keluar rumah jika kau menggantikan posisiku” ujarku panjang lebar “Hye Ri-ah, sepertinya kau harus konsultasi ke dokter” sarannya, aku berpikir sejenak “biarkan aku yang menyampaikan izinmu pada Mr.Choi” lanjutnya, aku tersenyum kecil “kau benar, baiklah aku akan pergi” jawabku mengakhiri telepon. Kuletakkan handphone ku kembali di atas meja.
***
“apa keluhanmu nona muda?” Tanya dokter berusia limapuluhan yang duduk di hadapanku. Aku melirik sebuah pin di bajunya, ooh.. namanya Kim So Yin. Aku sedang berada di ruangannya di sebuah rumah sakit pusat Incheon. Dan aku memakai kacamata hitam untuk menutup mata bengkak ini. Dokter itu berdeham, aku menyadarkan diriku “maaf nyonya, saya.. melamun” ujarku mengakui, dokter Kim tertawa kecil, aku jadi malu dibuatnya. “baiklah, perlu kutahu. Siapa namamu?” tanyanya dengan suara yang bersahabat “Kang-Hye-Ri” jawabku dengan ejaan, Dokter Kim menulis di selembar kertas note “apa yang terjadi padamu?” tanyanya lagi, aku menghela nafas sejenak, ia menatapku, menanti jawabanku “baiklah..” gumamku sambil membuka kacamata hitam yang sejak tadi kukenakan, kuturunkan kacamata itu dari wajahku “astaga..” gumam Dokter Kim pelan “jelaskan padaku apa yang terjadi padamu?” Tanyanya dengan suara bijak, kutundukkan kepalaku “aku tidak dapat tidur semalaman kemarin, aku terjaga sepanjang malam tanpa melakukan apapun” jawabku masih tertunduk “apa hal itu sering terjadi padamu?” tanyanya lagi, aku menggeleng lambat “sebelumnya.. aku tidak pernah sampai separah ini” ujarku memulai “sebelumnya.. aku sering tidur hanya dua jam atau tiga jam” tambahku. Kuberanikan diriku menatap kedua mata Dokter Kim yang sayu “sebenarnya, hal itu tidak akan menyebabkan hal separah matamu itu.. tapi sepertinya kau kelelahan hari itu. Hal seperti ini memang sering terjadi pada wanita, apalagi jika wanita itu super sibuk” jelas Dokter Kim dengan segala pengetahuannya, aku membenarkan dalam hati “bisa kuperiksa matamu?” tawarnya sambil bangkit dari kursi besarnya “tidak masalah” jawabku ringan, ia mendekat lalu duduk di kursi sebelahku, aku memutar kursiku 90 derajat agar dapat berhadapan dengannya. Ia mengeluarkan sebuah senter kecil dari jas putihnya, kemudian, aku menyipitkan mataku yang bertemu dengan sorotan sinar senter tersebut. Dokter Kim menekan pelipisku dan menyorotkan senter tadi pada mataku. Aku hanya diam.
Dokter Kim memasukkan kembali senter tadi ke dalam jasnya dan kembali duduk di kursi pribadinya. Akupun kembali ke posisiku semula. “sepertinya kau insomnia” ujarnya sambil menatapku lekat. Aku terpaku, melihat ekspresi tegangku, ia tertawa, atau hanya menyeringai “insomnia memang sering terjadi pada wanita. Jangan takut.. itu tidak seburuk seperti kedengarannya” hiburnya dengan suara lembut, aku memaksakan seulas senyum “kau hanya perlu minum obat tidur setiap sebelum tidur, dan kau akan bisa tidur tenang” lanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar